
KLATEN – Sebuah ritual mengarak wayang kulit, menjadi tanda dimulainya acara bersih desa. Selain mengarak wayang, juga digelar ritual menyebar kue apem. Ribuan kue apem menjadi rebutan bagi warga yang datang. Konon, jika ritual ini tidak digelar, dipercaya warga desa akan terkena musibah. Bagaimana ceritanya?
Setiap memasuki bulan Muharam atau bulan Suro, warga desa Padokan, Bulurejo, Juwiring, Klaten, Jateng mengadakan acara bersih desa. Wujud ritual utama adalah menggelar pentas wayang kulit. Namun sebelumnya, ada rangkaian proses ritual yang juga tak boleh dilupakan. Yaitu ritual berdoa di depan punden makam desa, ritual mengganti payung punden, ritual mengirab wayang, dan ritual menyebar ribuan kue apem.
“Setiap tahun kami pilih waktu ritual di malam Jumat pertama di bulan Suro,” ujar Suparman, selaku Kades Bulurejo, saat ditemui sebelum ritual sebar apem digelar.
Acara Juga Dihadiri Pejabat Muspika Setempat
Menurutnya, ritual menggelar pentas wayang kulit sudah dilakukan sejak nenek moyangnya dulu. Tokoh di makam punden desa yaitu bernama Eyang Putri Nyai Setrodiprojo. Dikenal merupakan keturunan generasi kelima dari Prabu Brawijaya V, atau raja terakhir dari kerajaan Majapahit.
Eyang Nyai Setrodiprojo dianggap sebagai cikal bakal dari warga di desa Padokan. Sebagai bentuk penghormatan warga atas tokoh cikal bakal desa itu, maka setiap tahun dilakukan acara ritual bersih desa. Ritual dipusatkan di dekat makam punden desa.
“Di malam sebelumnya, kami bersama seluruh perwakilan warga juga menggelar doa bersama di pendapa makam. Tujuannya, mengirim doa untuk semua arwah leluhur kami di punden makam desa,” lanjutnya.
Apem Dalam Nampan Dibawakan Oleh Gadis-Gadis Desa
Selain itu, ritual juga mendoakan kepada seluruh keluarga besar warga desa Padokan, agar selalu selamat, banyak rejeki, serta berbahagia dimanapun mereka berada. Dengan meneruskan ritual kepada generasi selanjutnya, juga dianggap menjaga tugas-tugas mulia dari leluhur.
Dan yang tak kalah penting adalah, menjaga tali silaturahmi kepada semua warga desa tanpa kecuali. Acara tersebut sekaligus juga menghidupkan semua UMKM di desa Juwiring dan sekitarnya. Sehingga momen tersebut benar-benar dimanfaatkan oleh banyak pelaku UMKM, untuk mengais rejeki di lokasi sekitar upacara ritual.
Uniknya semua warga, yang bekerja atau mengembara ke luar kota menyempatkan diri untuk mudik ke desa. Mereka berusaha pulang untuk ikut berpartisipasi di acara tersebut. Dengan cara itu, kegotong-royongan warga desa selalu bisa dijaga sampai kapan pun.
Kades Bulurejo (Kiri) dan Ketua Panitia Acara (Kanan) Sesaat Sebelum Kirab Apem
“Semua warga pasti menyumbang, sesuai kemampuan masing-masing. Dan tak ada warga yang iri dengan sumbangan warga lainnya,” ceritanya lagi.
Malah sebelum ritual pentas wayang kulit digelar, dibacakan nama-nama para warga yang menyumbang lengkap dengan nilai nominal sumbangannya. Ada yang menyumbang hanya Rp 10 ribu. Namun banyak juga yang menyumbang hingga jutaan rupiah per orang atau per keluarga.
Untuk tahun ini (11/07/2024), ada dua dalang yang diundang. Yaitu Ki Giyarno Gombloh untuk pentas wayang siang dengan lakon Wahyu Sandang Pangan. Sedangkan untuk pentas malam diisi oleh Dalang Ki Daryono Klelur dengan lakon Wisanggeni Maneges.
Beberapa Warga Yang Melakukan Doa Ziarah di Punden Nyai Setrodiprojo
Ada kepercayaan, jika selesai mendalang di acara tersebut, pamor mereka akan cepat melesat. Atau mereka akan semakin laris mendapat order mendalang dari berbagai tempat.
“Semua kepercayaan itu tak lepas dari sawab gaib yang dipercaya datang dari tokoh punden makam, yaitu Eyang Nyai Setrodiprojo,” paparnya lagi.
Lalu mengapa ritual pentas wayang kulit, menjadi ritual utama dalam acara bersih desa tersebut?
Menurut sejarahnya, sejak turun-temurun roh gaib dari tokoh punden memang sangat menyukai akan seni wayang kulit. Sehingga warga desa merasa berkewajiban untuk memenuhi hasrat seni tersebut. Semua dilakukan demi menghormati roh leluhur. Selain itu juga sekaligus melestarikan seni dan budaya wayang kulit.
Kades Bulurejo Suparman (Pegang Mik) Saat Berikan Sambutan Di Awal Acara
“Bahkan setiap ritual tahunan ini akan digelar, selalu muncul tanda-tanda gaib dari komplek makam punden. Misalnya suara ringkik kuda diiringi bunyi musik gamelan tiba-tiba sering terdengar dari arah makam,” ujar Wahyu (49), salah satu warga desa yang sering melakukan ritual sendiri di dalam komplek makam.
Sehingga sampai sekarang warga selalu menaati ritual turun-temurun tersebut. Meskipun sekarang banyak warga sudah beralih profesi menjadi pedagang dan pegawai, ritual bersih desa tetap dilakukan dengan pentas wayangan.
Waktunya tetap menyesuaikan masa panen warga. Seiring perkembangan, ada wahyu atau petunjuk gaib yang mengatakan bahwa ritual bisa digelar pada awal bulan Suro. Dan waktunya juga disepakati pada malam Jumat pertama di bulan Suro tersebut.
Suasana Sesi Sebaran Apem
Sebelum ritual utama dilakukan, pada malam sebelumnya dilakukan acara berdoa bersama di dekat punden makam. Selanjutnya pada hari Kamis malam, atau tepatnya setelah waktu ibadah sholat Isya’ dilakukan ritual mengirab payung keramat. Payung keramat itu memang bukan payung kuno, melainkan payung baru yang dibuat atau dipesan oleh warga desa. Payung baru tersebut digunakan untuk mengganti payung makam punden yang lama.
“Setiap tahun, kami harus mengganti payung makam punden. Hal itu juga berdasarkan petunjuk gaib dari roh makam leluhur kami,” ujar Trimanto (65), salah satu warga setempat yang kerap membersihkan makam punden desa Padokan.
Menurutnya, payung baru tersebut juga menandai pergantian tahun baru Jawa yang harus disambut dengan semangat baru. Payung juga dimaknai sebagai simbol pengayoman atau perlindungan bagi warga desa. Secara fisik dan mental, dengan adanya payung baru, diharapkan keselamatan warga bisa lebih terjamin. Hal ini karena payung baru juga didoakan oleh seluruh warga atau perwakilan warga desa yang hadir.
Panitia Saat Bacakan Hasil Donasi Warga
Selesai ritual mengganti payung, dilanjutkan dengan ritual mengarak kue apem. Ribuan kue apem tersebut, sebelumnya juga disanggarkan atau didoakan dulu di punden makam desa. Setelah itu diarak atau dikirab lagi menuju lapangan desa. Di lapangan inilah nantinya kue apem akan disebar untuk dimakan bersama oleh warga yang datang.
“Kue apem melambangkan pengampunan atas semua dosa yang telah dilakukan manusia (warga desa). Sehingga dengan memakan kue itu, disimbolkan bisa melebur dosa-dosa atau kesalahan manusia,” terang Subowo Puspo Harjono, selaku ketua panitia dalam upacara sebaran apem dan pentas wayang kulit tersebut.
Selesai disanggarkan selama beberapa menit, kue didoakan lagi di pinggir lapangan. Kemudian dibawa ke atas 3 buah panggung setinggi 7 meteran. Selanjutnya disebar ke warga atau semua penonton yang berjubel di lapangan.
Penampakan Pesinden Gelaran wayang Kulit Malam
Berbeda dengan ritual di tempat lain, kue apem yang disebar di sini sudah diberi bungkus plastik per bijinya. Sehingga jika pun hancur atau jatuh ke tanah, tetap bisa diambil untuk dimakan. Masyarakat yang menantikan kue apem, sangat percaya bahwa apem bisa membawa berkah tersendiri.
“Namun sebelum acara sebar apem, juga digelar ritual kirab dalang dan wayang kulit yang akan pentas nantinya. Ritual ini bertujuan agar acara pentas wayang kulit berjalan lancar. Maklum tokoh wayang yang dikirab ini umurnya sudah ratusan tahun, dan dipercaya masih menyimpan kekuatan gaib yang sangat besar,” ujar Subowo lagi.
Menjelang pagi pentas wayang kulit biasanya baru selesai. Warga yang belum puas biasanya belum pulang. Mereka akan melakukan berbagai macam ritual dulu di komplek makam punden.
Tetap Semangat Berbut Berkah Apem
Konon, saat-saat itulah waktu paling baik untuk memohon keberuntungan, atau untuk berdoa ngalap berkah. Banyak pengusaha atau pejabat yang mengaku, bisa cepat sukses, atau naik pangkat dan jabatan setelah ngalap berkah di tempat ini. Terutama dilakukan saat bulan Suro. (Med/Dan)
Sumber : www.majalahkisahnyata.com
Leave a Reply Batalkan balasan