
MAJALAHKISAHNYATA.COM, SOLO – Ratusan porsi Jenang Suran (bubur) disajikan dalam sebuah upacara sakral. Yaitu ritual Umbul Donga dengan alunan zikir Sholawat Macapat Wedhatama. Tak lupa tarian tolak balak juga mengiringi ritual tersebut.
Dipercaya, upacara ini bisa meredam semua anasir jahat. Serta mampu membuat kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air menjadi sejuk dan tentram. Seperti apa wujudnya?
Dr Anggoro Panji Nugroho MM- KETUA Yayasan Karya Dharma Pancasila (YKDP) UNDHA AUB SURAKARTA
Setiap bulan Suro, masyarakat Jawa selalu mengisi dengan berbagai kegiatan spiritual. Terutama laku tirakat dan laku prihatin. Hal ini sesuai dengan makna dan sejarah lahirnya bulan Suro. Atau sejarah lahirnya tahun baru Jawa di masa Sultan Agung Hanyakrokusumo silam.
“Di masa lalu, Sultan Agung berjuang mempersatukan rakyat agar berhasil mengusir penjajah Belanda. Salah satunya dengan menciptakan penanggalan Jawa. Dan bulan Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa tersebut,” tutur Dr. Anggoro Panji Nugroho MM, saat membuka sambutan dalam acara Umbul Donga Wilujengan Suran yang digelar oleh Pusat Lembaga Kebudayaan Jawi (PLKJ), Yayasan Karya Dharma Pancasila (YKDP) UNDHA AUB Surakarta pada hari Rabu Malam (02/08/2023) kemarin.
Menurut Anggoro yang juga ketua Yayasan YKPD tersebut, Untuk itulah, di bulan Suro wajib diisi dengan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan makna tersebut. Acara wilujengan suran menjadi salah satu upaya pelestarian tradisi yang mungkin sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Dengan kegiatan tersebut, masyarakat bisa intropeksi diri tentang langkah-langkah hidup yang selama ini sudah ditempuhnya. Serta mempersiapkan diri dalam menyambut tahun-tahun berikutnya yang akan dilewati.
WILUJENGAN SURAN MENJADI TRADISI PENTING BAGI MASYARAKAT JAWA
“Tentunya dengan harapan, agar kita semua mendapat berkah, kesehatan, rejeki, serta segala kebaikan dan kemurahan dari Tuhan Yang Maha Esa,” ulas Anggoro lagi.
Dalam acara tersebut, juga diisi dengan beragam ritual spiritual yang penuh dengan makna dan simbol penting. Seperti ruwatan nagari, sedekah bumi, serta tarian sakral sebagai simbol pengusir roh jahat.
Ruwatan Nagari serta Sedekah Bumi sendiri bertujuan untuk menjaga jagad dan alam semesta ini, khususnya di bumi Nusantara agar tetap lestari. Serta selalu dijauhkan dari bencana dan perpecahan bangsa.
Konsepnya adalah, manusia harus selalu Menjaga Kedamaian Dunia (Memayu Hayuning Bawana). Juga bisa memberikan mafaat bagi kehidupan makluk lainnya ( Urip Iku Urup).
Dr BRM Kusuma Putra SH MH (Paling Kiri) Selaku Ketua Yayasan Forum Budaya Mataram
Tak lupa juga dihidangkan menu bubur atau Jenang Suran. Makanan khas ini memang menjadi tradisi masyarakat Jawa sejak dulu. Dalam makanan sederhana ini, banyak terkandung makna dan nilai filosogi yang tinggi.
“Diantaranya adalah simbol keprihatinan. Ini karena wujud makanan ini memang kelewat sederhana. Bahkan dimakan berkali-kalipun juga jauh dari rasa kenyang. Apalagi lauknya juga sangat sederhana sekali,” imbuh Bapak Agung, salah satu tokoh budaya yang juga hadir dalam acara tersebut.
Dalam simbol keprihatinan tersebut, sangat relevan dengan situasi berbangsa dan bernegara saat ini. Dimana masyarakat sudah sampai pada titik jenuh akan ketidakpastian hidup. Terutama kebijakan-kebijakan politik yang seringkali justru membuat rakyat semakin resah dan gelisah. Apalagi menjelang tahun politik 2024 nanti.
Untuk itulah hidangan Jenang dalam kegiatan Umbul Donga Wilujengan Suran tersebut, menjadi simbol akan laku, doa, dan usaha keprihatinan. Atau menahan keperihan untuk tujuan yang lebih mulia. Terutama untuk kehidupan rakyat dan bangsa yang semakin baik dan semakin jelas harapannya.
MBAH LAWU WARTA (KANAN) DENGAN SIMBOL WAYANG SEMAR
Sementara itu, Ketua Yayasan Forum Budaya Mataram (FBM), yaitu Dr. BRM. Kusuma Putra S.H, M.H (49), sangat mengapresiasi acara tradisi kegiatan Suran yang digelar oleh Pusat Lembaga Kebudayaan Jawi, YKDP UNDHA AUB Surakarta tersebut.
“Tradisi Wilujengan Suran ini, tentu bisa menjadi contoh bagi kampus atau perguruan tinggi lain di seluruh Indonesia. Yaitu agar generasi penerus bisa mencintai budayanya sendiri,” papar Kusuma Putra di sela-sela acara Wilujengan Suran tersebut.
Ditambahkannya, tradisi tersebut merupakan wujud nyata dalam menjaga dan melestarikan tradisi budaya. Terutama dalam menjaga kearifan lokal masyarakat Jawa. Dengan adanya tradisi tersebut, secara pelan namun pasti, generasi muda bisa mengenal budaya sendiri. Sehingga bisa tertanam rasa cinta budaya dan bangsanya sendiri.
Dengan rasa cinta budaya tersebut, akan terbentuk fondasi budaya yang kokoh. Terutama kesadaran akan jati diri bangsa sendiri. Sehingga masa depan bangsa dan negara juga akan semakin kuat dalam menyongsong kemajuan jaman.
SATU ADEGAN TARIAN SAKRAL TOLAK BALAK
Apresiasi yang sangat tinggi benar-benar ia ungkapkan saat menghadiri wilujengan suran tersebut. Ini karena kampus UNDHA AUB Surakarta, dinilainya merupakan satu-satunya lembaga perguruan tinggi di Surakarta yang paling konsisten. Khususnya dalam melestarikan budaya dan kearifan tradisi masyarakat Jawa.
Forum Budaya Mataram sendiri sampai saat ini juga masih aktif dalam nguri-uri atau melestarikan segala tradisi dan budaya terkait masyarakat Jawa khususnya. Sehingga tak heran acara semacam itu juga menjadi perhatian khusus bagi FBM.
Yang menarik, adalah prosesi zikir Sholawat Macapat Wedhatama. Lantunan zikir tersebut, mengiringi tarian sakral Kidung Mantra Singkir Tolak Balak. Diperankan oleh Mbah Lawu Warta dan beberapa seniman dan seniwati asal Solo. Tarian sakral tersebut membuat merinding semua tamu yang hadir.
“Inti dari tarian itu adalah sebagai lambang untuk menghilangkan semua sifat mala petaka dan memala (penyakit) yang ada di muka bumi. Terutama di bumi Nusantara,” terang Mbah Lawu Warta sesaat setelah aksi pentas tarian sakral usai.
PARA TOKOH BUDAYA DAN PENGURUS YAYASAN YKDP UNDHA AUB BERFOTO BERSAMA FORUM BUDAYA MATARAM
Selain agar semua sifat buruk tersebut hilang, juga agar masyarakat Jawa lebih meningkatkan laku prihatin di bulan Suro ini. Sehingga benar-benar mendapat petunjuk murni dari Sang Pencipta tentang hidup dan kehidupan.
Dalam tarian itu juga diselipkan Tembang Jawa Pangkur. Yang berisi tentang Sastra Jendra. Yaitu sebuah ajaran tentang ilmu makrifat. Atau kesadaran dimensi yang tak terbatas, termasuk tentang Tuhan dan budaya manusia.
Tarian diakhiri dengan adegan membakar kertas yang bergambar wayang atau kayon. Prosesi ini bermakna simbolik tentang ambisi manusia yang dibakar atau diredam. Atau secara spiritual diruwat, agar jagad dan seisinya menjadi lebih kesirep atau menjadi lebih tenang dan tidak gaduh.
JUGA DIISI DENGAN SANTUNAN KEPADA ANAK YATIM
Selama adegan membakar ini, juga dilantunkan mantra-mantra kuno yang sangat sakral. Konon mantra-mantra ini ditemukan dalam prasasti dan daun lontar yang ditemukan di lereng Merapi. Dan diduga merupakan peninggalan dari jaman kejayaan Mataram Kuno silam.
Acara wilujengan suran tersebut juga dihadiri oleh Rektor UNDHA AUB, tokoh-tokoh budaya, komunitas budaya, komunitas sejarah dan budaya (Semak Belukar), serta para pecinta tradisi budaya lainnya dari wilayah Se-Solo Raya. Di sela-sela acara juga sempat diberikan sedikit santunan kepada anak yatim. (Med)
SUMBER : www.majalahkisahnyata.com
Leave a Reply Batalkan balasan