
MAJALAHKISAHNYATA.COM, KLATEN- Ratusan ambengan kenduren disajikan dalam sebuah tradisi nyadran. Yaitu sebuah kegiatan bersih-bersih makam di bulan Ruwah. Ada buah-buahan, sayur-mayur komplit, serta beraneka jajanan pasar untuk makan bareng warga. Terbukti acara ini bisa mewujudkan rasa kegotong-royongan dan kerukunan warga. Lalu seperti apa wujud kemeriahannya?
Tradisi nyadran atau kerap disebut tradisi sadranan, sudah lumrah dilakukan oleh masyarakat Jawa setiap bulan Ruwah (Kalender Jawa). Tradisi ini, secara ringkas sebagai wujud rasa syukur yang dilakukan warga. Yaitu dengan cara mendatangi makam desa, atau yang dianggap punden dan pepunden leluhur desa.
Kades Borongan S Setyo Budi Saat Ziarah di Makam Mbah Lebeh
Seperti yang dilakukan warga di desa Kapungan serta Borongan, Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jateng. Acara sadranan dipusatkan di punden makam warga. Yaitu komplek makam Mbah Lebeh untuk warga desa Kapungan, serta komplek Makam Mbah Cikal Bakal untuk warga desa Borongan.
“Uniknya, karena letak kedua komplek makam berdekatan, atau berada di perbatasan antara kedua desa, maka warga kedua desa melaksanakan kegiatan tersebut secara bersama-sama,” terang Kades Desa Borongan, S. Setyo Budi yang juga menghadiri acara sadranan di kedua makam keramat tersebut.
Sesi pertama sadranan, dimulai di komplek makam Mbah Lebeh. Ambengan kenduren berisi bermacam jenis jajanan pasar, serta buah-buahan dikumpulkan di bangsal depan komplek makam.
Sesepuh desa yang sering dipanggil modin, yaitu Pak Tumari, memimpin doa di bangsal. Warga yang datang dengan khusyuk mengikuti upacara pembacaan doa tersebut. Sehari sebelumnya, warga sekitar komplek makam sudah bekerja-bakti membersihkan komplek makam Mbah Lebeh tersebut.
Suasana Doa Kenduren Sadranan di Bangsal Makam Mbah Lebeh
Kegiatan sadranan sendiri, biasanya dilakukan sekitar 1 hingga 3 minggu sebelum bulan puasa. Atau sesuai tradisi, kerap mengambil hari atau tanggal-tanggal tertentu sesuai wilayah desa masing-masing. Seperti tanggal 15, 20, atau 25 bulan Jawa.
Nah dalam hari yang dipakai acara sadranan tersebut, warga desa berbondong-bondong mengunjungi makam atau komplek makam Mbah Lebeh. Makam Mbah Lebeh sendiri berada paling atas. Atau paling utara di dalam komplek makam warga tersebut.
Suasana Ziarah di Depan Makam Mbah Lebeh
Mbah Lebeh dulunya dianggap tokoh yang menjadi panutan. Terutama bagi warga desa setempat semasa hidupnya. Versi lain ada yang menganggap, bahwa nama Mbah Lebeh disematkan karena dia dianggap mempunyai banyak kelebihan atau lebih pada jamannya. Kata lebih inilah yang kemudian menjadi kata lebeh sesuai lidah orang Jawa.
Ada juga cerita yang mengatakan bahwa Mbah Lebeh dulunya sangat ahli dalam mengobati beragam penyakit. Baik penyakit yang sifatnya fisik ataupun yang bersifat gaib. Seperti orang kerasukan setan, ataupun sakit karena disantet orang lain.
Cerita lainnya, Mbah Lebeh juga dikenal sangat pandai berdagang. Jenis dagangan apa pun jika dipegang beliau pasti laku dan laris. Sehingga, dulu banyak bakul atau pedagang di desa, meminta jampi-jampi atau semacam mantra agar dagangan mereka juga bisa laris seperti kepunyaan Mbah Lebeh.
Namun secara umum, Mbah Lebeh juga dianggap sebagai tokoh cikal bakal desa. Atau leluhur pertama yang babat alas membuka desa. Sehingga suasana desa yang tadinya sepi, menjadi ramai dan berkembang hingga seperti saat ini. Banyak orang luar desa yang datang untuk berdagang atau melakukan jual-beli beragam jenis barang.
Tua Muda Laki Perempuan Berkumpul di Bangsal Dalam Kebersamaan
“Sehingga oleh warga desa sini, sudah dianggap sebagai tokoh cikal bakal dan menjadi panutan seluruh warga desa di jaman dulu,” imbuhnya lagi sesaat sebelum Pak Kades memberikan sambutan di bangsal depan komplek makam pada hari Senin silam (13/03/2023).
Setelah acara berdoa di bangsal selesai, sebagian warga melakukan ziarah dan tabur bunga di makam leluhurnya sendiri-sendiri, termasuk Makam Mbah Lebeh. Sehingga tak heran jika bunga tabur di makam Mbah Lebeh terlihat paling banyak. Karena satu demi satu, setiap warga antri untuk ziarah di makam Mbah Lebeh.
Makam Mbah Lebeh termasuk unik. Ada beberapa papan kayu jati tua yang menjadi penanda di atas makam. Kayu-kayu tersebut ditata sedemikian rupa mirip kandang kecil di atas makam.
Warga Desa Kapungan dan Borongan Menyatu Dalam Tradisi Sadranan
“Sebagai tokoh terkenal yang dianggap mempunyai banyak ilmu, makam tersebut tentu saja dianggap masih menyimpan sawab gaib hingga sekarang. Tak heran setiap malam Jumat, atau di hari-hari yang dianggap sakral, masih banyak yang mendatangi makam Mbah Lebeh. Yaitu untuk melakukan ritual atau tirakat,” sambungnya lagi.
Malah kabarnya, setiap menjelang musim pilihan kepala desa atau pilkades, khususnya di wilayah Kecamatan Polanharjo dan sekitarnya, makam tersebut kerap menjadi jujugan para calon kepala desa. Tujuannya melakukan tirakat atau laku keprihatinan agar keinginan menjadi kepala desa bisa terkabul.
Setelah acara doa dan ziarah selesai, semua warga yang hadir makan bersama dengan menu kenduran yang dibawa warga tadi. Moment inilah yang paling seru. Apalagi anak-anak kecil yang tidak sabaran. Kerap berebut makanan kenduren yang beraneka macam.
Isi makanan kenduren memang sangat menarik. Bermacam buah-buahan seperti pisang, apel, jambu, salak, anggur, nanas, jeruk, dan lain-lain. Tak ketinggalan jajanan pasar seperti wajik, jadah, klepon, carabikan, apem, serabi, bahkan juga snack modern kegemaran anak-anak milinial jaman sekarang.
Warga Juga Menggelar Ambengan Kenduren di Sepanjang Jalan Depan Komplek Makam
Namun ada satu jenis makanan atau penganan yang menjadi buruan warga. Yaitu makanan berbentuk bundar bernama brondong beras.
“Makanan ringan berbahan dasar beras tersebut berwarna putih agak kecoklatan. Dan menjadi menu wajib setiap acara sadranan dilakukan,” ujar salah satu warga yang juga berebut memburu penganan brondong beras tersebut.
Tidak ada yang tahu sejarahnya, sejak kapan brondong beras tersebut dipakai sebagai menu wajib dalam acara sadranan di desa Kapungan dan Borongan tersebut. Yang pasti, makanan unik berwujud bundar itu menjadi semacam makanan maskot dalam acara sakral tahunan itu.
Aneka Jajanan Pasar Juga Didoakan di Depan Makam Mbah Lebeh
Dalam kenyataannya, justru banyak yang sayang untuk langsung memakannya. Sehingga mereka banyak yang membawa pulang untuk kenangan dan oleh-oleh keluarga yang menunggu di rumah.
Selain itu, dalam acara sadranan tersebut, setiap rumah juga open house. Atau terbuka untuk menerima tamu, atau kunjungan dari siapapun warga yang lewat. Atau warga yang sekedar ingin bersilaturahmi. Bahkan walau hanya ingin numpang makan atau mencicipi hidangan yang melimpah di hari sadranan tersebut.
“Bahkan sering warga dari luar desa yang kebetulan singgah ke sini juga bebas untuk bersilaturahmi ke rumah-rumah warga yang open house tersebut,”tutur Kades Setyo Budi lagi.
Makam Mbah Lebeh Juga Ramai Saat Musim Pilkades
Sesi kedua, setelah upacara doa dan ziarah di makam Mbah Lebeh selesai, warga pun berbondong-bondong gantian menuju ke komplek Makam Mbah Cikal. Di komplek makam Mbah cikal atau Cikal Bakal ini, juga terdapat beberapa makam tokoh leluhur. Seperti Mbah Cikal sendiri, lalu Mbah Kami, serta Mbah Honggo.
Di komplek makam ini, warga juga melakukan hal yang sama. Yaitu berdoa, berziarah, serta makan bersama semua makanan atau kenduri yang disajikan. Tradisi sadranan ini, sudah berjalan secara turun-temurun sejak jaman leluhur cikal bakal dulu.
Bagi warga muslim, juga bisa menjadi sarana untuk membersihkan jiwa menyambut bulan puasa. Hal ini, karena dalam acara sadranan juga saling memberikan permintaan maaf, atau saling bermaafan. Harapannya, semua ibadah di bulan ramadhan nanti, bisa diterima oleh Allah.
Sementara bagi warga umat lain, juga bisa menjadi sarana menyambung sekaligus merekatkan tali persaudaraan. Bahkan warga desa yang sedang merantau, biasanya juga menyempatkan mudik untuk meramaikan acara sadranan tersebut. Di saat normal, dulu juga digelar pertunjukan wayang kulit di malam harinya.
“Namun karena beberapa waktu sempat terkena pandemi covid-19, pagelaran wayang kulit istirahat dulu untuk beberapa tahun ini. Insya Allah untuk tahun-tahun mendatang bakal digelar wayang kulit lagi bergantung situasi dan kondisi yang ada nanti,” tutur Pak Mariman, salah satu sesepuh desa Borongan yang dianggap tahu tentang sejarah dan silsilah makam tokoh-tokoh di komplek Makam Mbah Cikal tersebut. (Mul/Dn)
Sumber : www.majalahkisahnyata.com
Leave a Reply Batalkan balasan