
MAJALAHKISAHNYATA.COM, Boyolali– Dua buah patung raksasa, atau ogoh-ogoh diarak warga menyusuri jalanan desa. Sampai di lapangan desa, kedua patung tersebut dibakar tanpa ampun. Tradisi ini dipercaya, bisa menyingkirkan segala roh-roh serta aura jahat yang datang ke desa. Lalu seperti apa wujud dan makna tradisi ogoh-ogoh ini?
Ribuan warga bersorak gembira, saat kedua patung raksasa berhasil dibakar hingga menjadi abu pada Selasa Malam kemarin (21/03/2023). Pemandangan tersebut menjadi puncak dramatis, dari rangkaian acara sakral umat Hindu menjelang hari Raya Nyepi. Khususnya bagi warga Hindu Jawa di Dukuh Wonodadi, Desa Karanganyar, Kecamatan Tamansari, Boyolali, Jateng.
Kades Maryono (Tengah) Dikawal Para Bidadari Menyambut Rombongan Ogoh-Ogoh
Menjelang Hari Raya Nyepi Umat Hindu, ada rangkaian upacara seperti Melasti (penyucian diri), Tawur Kasanga, atau Mecaru. Namun untuk Pura kecil yang memangku wilayah semacam Desa atau Kecamatan, biasanya dinamakan Mecaru. Yaitu sebuah upacara sakral untuk menjaga keharmonisan hubungan. Baik antara manusia dengan alam, serta lingkungan sosial sekitarnya.
Tal terkecuali bagi warga desa Karanganyar di Kecamatan Tamansari, Boyolali. Warga di kaki Gunung Merapi sebelah timur ini, tak pernah absen menggelar tradisi unik sekaligus sakral tersebut. Namun kali ini, di tahun 2023 yang sudah dianggap lepas dari pandemi covid 19, warga juga memeriahkan dengan tradisi pawai ogoh-ogoh.
Gunungan Hasil Bumi Juga Memeriahkan Kirab Ogoh-Ogoh
“Setiap tahun menjelang Hari Raya Nyepi, umat Hindu di desa Karanganyar sini selalu menggelar upacara Mecaru di Pura Desa,” ungkap Penandita atau Pendeta Wandi saat membuka sambutan di lapangan Dukuh Wonodadi, Desa Karanganyar.
Menurutnya, di tahun saka 1945 atau 2023 Masehi ini, memang sangat istimewa bagi warga Hindu di desa setempat. Karena mereka bisa menggelar rangkaian acara atau upacara adat dengan sangat sempurna.
Dikatakannya, semua itu juga tak lepas dari sifat dan jiwa kegotong-royongan dari warga desa. Warga desa Karanganyar yang umatnya beragam, mulai Hindu, Islam, Kristen, Katolik, serta Budha, sangat menjunjung tinggi nilai dan sifat toleransi.
Pendeta Hindu Memimpin Upacara Mecaru di Pura Desa
Ia juga menghaturkan rasa terima-kasih yang tak terhingga kepada umat lain. Karena mereka juga ikut nyengkuyung atau membantu rangkaian acara umat Hindu tersebut. Sehingga seluruh rangkaian acara, terutama kirab ogoh-ogoh bisa berjalan dengan lancar, aman, dan tertib.
Juga ucapan terima-kasihnya kepada pemerintahan desa setempat, khususnya kepada Kepala Desa Karanganyar. Karena telah ikut membantu seluruh rangkaian acara, baik secara moril maupun materil secara tulus.
Acara diawali dengan upacara sembahyang di Pura Hindu desa setempat, yaitu di Pura Buana Puja. Ratusan masyarakat Hindu dari Desa Karanganyar serta dari desa-desa sekitar mengikuti upacara tersebut dengan khusyuk. Beragam kidung sakral khas ritual Hindu, dikumandangkan dengan dipimpin oleh seorang pendeta Hindu.
Sementara kidung-kidung sembahyang dilantunkan, di luar Pura puluhan Pemuda Hindu menyiapkan sepasang Ogoh-ogoh. Atau patung raksasa berwujud karakter Tokoh Bawi dan Tokoh Srenggi (Celeng Hutan).
Para Pemuka Hindu Menyatukan Kekuatan Mengusir Roh Jahat
Patung ogoh-ogoh tersebut masing-masing sekitar 3 meteran tingginya. Dikreasi sedemikian rupa oleh tim Kreatif pemuda desa, sehingga tampil cukup menawan sekaligus sangar dan menyeramkan.
“Tokoh Bawi dan Srenggi memang sengaja dipilih, karena mewakili karakter kejahatan atau siluman perusak kentrentaman masyarakat desa,” ujar salah satu panitia yang terlibat dalam tim Kreatif acara Pawai Ogoh-ogoh tersebut.
Sehingga dalam puncak pawai atau akhir dari kirab Ogon-ogoh tersebut, kedua patung raksasa yang dianggap simbol jahat tersebut, dibakar di tengah warga yang berkumpul di lapangan.
Proesi Pembacaan Kidung dan Mantra di Pura Buana Puja
Dengan dibakarnya kedua patung tersebut, menjadi simbol berakhirnya teror roh-roh jahat yang selama ini mungkin dianggap mengganggu warga. Khususnya bagi warga petani desa yang terkadang terganggu hasil panennya, karena serangan hama atau hewan perusak tanaman lainnya.
Sementara itu, di tempat yang sama Kades Karanganyar, yaitu Bapak Maryono SH, juga sangat mengapresiasi dengan digelarnya rangkaian upacara oleh umat Hindu di desanya tersebut.
Ditambahkannya bahwa dengan adanya rangkaian upacara umat Hindu di desanya tersebut, menjadi bukti bahwa warga di desa Karanganyar memang sejak dulu sudah sangat toleran dalam hal kehidupan beragama.
“Kegiatan perayaan menyambut Hari Raya Nyepi, serta prosesi Ogoh-ogoh ini, semoga selalu menjadi wujud nyata dari nilai-nilai Pancasila yang sangat menjunjung tinggi toleransi dari beragam adat, budaya, serta agama khususnya di wilayah Desa Karanganyar,” tutur Maryono di sela-sela acara atraksi seni budaya sebelum sepasang ogoh-ogoh tersebut dibakar.
Para Pemangku Pura Memercik Air Suci Untuk Bersihkan Lapangan Dari Gangguan Roh Jahat
Ia juga berharap, ke depannya, Desa Karanganyar bisa semakin maju dalam segala bidang. Serta bisa menjadi contoh nyata khususnya dalam hal toleransi umat beragama.
Sepasang patung siluman raksasa tersebut, diarak menyusuri jalan-jalan desa. Dimulai dari titik start Pura Buana Puja, lalu berjalan berkeliling tiap dukuh di desa Karanganyar. Barisan paling depan dipimpin oleh para Pamangku Pura serta Pendeta Hindu yang tak henti-hentinya membaca mantra dan doa keselamatan.
Lalu disusul di belakangnya, barisan pembawa obor. Selanjutnya para pengusung ogoh-ogoh, sebuah gunungan hasil bumi, serta pembawa aneka macam sesaji khas upacara Hindu. Hingga menjelang pukul 22.00 malam sampai di lapangan desa kembali.
Di sana sudah menunggu ribuan warga, yang ingin menyaksikan berbagai atraksi seni dan pertunjukan budaya khas masyarakat di kaki Gunung Merapi tersebut. Tak terkecuali para pejabat setingkat Muspika serta para tokoh masyarakat dan undangan lainnya.
Beksan Gambyong Membuka Acara Ritual
Bahkan acara ini juga bisa menggeliatkan banyak UMKM di desa setempat. Mulai usaha kuliner, mainan anak, hingga hiburan, tumpek blek di lokasi sekitar lapangan untuk ikut mengais rejeki dan kegembiraan bersama.
Camat Tamansari yaitu, Suyanta SP, yang berkenan hadir dalam acara tersebut juga mengapresiasi hal yang senada. Ia mengatakan bahwa, kegiatan tersebut mampu menjadi cermin dari tingkat kemajuan suatu daerah atau suatu bangsa.
“Bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang tingkat toleransinya begitu tinggi, seperti apa yang sudah dilakukan oleh warga di desa Karanganyar ini,” ungkapnya pada beberapa awak media yang juga ikut merapat dalam acara tersebut.
Patung Ogoh-Ogoh Dibakar Sebagai Simbol Mengusir Roh jahat
Dalam puncak acara, pasangan ogoh-ogoh dibakar oleh ksatria bersenjatakan tombak api Trisula. Api dan asap pun membumbung tinggi diiringi tepuk sorai para warga yang sudah menyemut sejak sore hari.
Sebelum acara benar-benar selesai, warga masih dihibur dengan pertunjukan pesta kembang api serta lampion terbang yang menyala di kegelapan malam. Sementara di atas langit, terlihat bintang-bintang ikut tersenyum mengintip berakhirnya acara tersebut. (Med)
Sumber : www.majalahkisahnyata.com
Leave a Reply Batalkan balasan