MAJALAHKISAHNYATA.COM, Surakarta– Jauh sebelum Presiden Jokowi menyampaikan himbauan, agar masyarakat menjadi relawan covid-19, sebenarnya sudah banyak relawan yang muncul selama pandemi. Mulai sopir ambulan, pengawal jenazah covid, pengangkat jenazah covid, penggali kubur, penyemprot disinfektan, hingga tim jaga tonggo yang populer khussnya di wilayah Jawa Tengah. Namun apakah perlengkapan para relawan tersebut sudah memenuhi standar kesehatan?
Praktek di lapangan, ternyata sangat memprihatinkan. Banyak tenaga relawan, ternyata hanya menggunakan fasilitas yang sangat minimalis. Sehingga relawan-relawan garda terdepan dalam perang corona itu, sangat berisiko tinggi menjadi korban keganasan dari covid-19 itu sendiri.
Kerja relawan memang didasarkan atas kesadaran sendiri, serta panggilan jiwa kemanusiaan. Namun jika faktanya seperti itu, sungguh nasib para relawan, seperti di ujung tanduk. Mereka yang tidak mengharap imbalan, medali, pujian, ataupun penghargaan lain, cepat atau lambat akan menjadi tumbal. Dan dilupakan banyak orang. Lalu bagaimana tanggung-jawab serta apresiasi dari pemerintah atas kinerja relawan tersebut?
”Sampai hari ini, saya menyaksikan sendiri bahwa fasilitas atau perlengkapan yang dipakai para relawan sangatlah jauh dari memadai,” tegas BRM Kusumo Putro SH MH (48), seorang tokoh penggiat sosial masayarakat Surakarta yang juga menjadi ketua dari LSM LAPAAN RI JATENG pada Minggu kemarin (11/07/2021).
Hal tersebut disampaikannya berdasar dari pengalamannya sendiri. Yaitu saat salah seorang saudaranya dimakamkan beberapa waktu lalu. Selama masa pandemi terakhir sekarang, memang sudah menjadi hal yang lumrah. Dimana jenazah yang dimakamkan, baik akibat positif covid ataupun tidak, wajib dimakamkan sesuai standar prokes (protokol kesehatan).
“Sehingga saat dimandikan, petugas atau orang yang memandikannya, wajib memakai perlengkapan atau baju APD (Alat Pelindung Diri), lengkap sesuai standar prokes,” lanjutnya saat ditemui di rumahnya di kampung Gandekan, Solo.
Diceritakannya, saat itu disepakati bahwa orang yang akan memandikan jenazah, adalah warga yang tergabung dalam Tim Jaga Tonggo di kampungnya. Namun anehnya, saat relawan hendak bekerja, justru tidak mempunyai pakaian APD standar yang dimaksud. Sehingga harus meminjam ke pihak-pihak terkait (pemerintah Kalurahan dan Kecamatan). Dan setelah selesai wajib dikembalikan.
Nah dari peristiwa kecil tersebut tentu menjadi sebuah hal yang menjadi keprihatinan besar. Bagaimana mungkin relawan yang bekerja tanpa mengharap imbalan seperserpun, ternyata tidak mempunyai perlengkapan sendiri yang ready setiap saat dibutuhkan. Karena bukan tidak mungkin, ribuan relawan, atau bahkan mungkin jutaan relawan lain di seluruh Indonesia, khususnya di wilayah Jawa dan Bali juga mengalami hal yang sama.
“Selain relawan Jaga Tonggo yang minim fasilitas, saya juga melihat sendiri relawan di bagian pemakaman juga tidak mendapat, atau tidak memakai pakaian APD yang standar. Sehingga saya tidak habis pikir. Bagaimana mungkin mereka yang bekerja tanpa pamrih justru luput dari perhatian pihak berwenang,” tutur Kusumo penuh keprihatinan.
Apalagi, sesuai standar kesehatan, pakaian APD harus lengkap. Mulai sepatu bot, baju hazmat, kaos tangan, hingga masker penutup dan face shield wajah. Namun yang terjadi di lapangan, banyak relawan hanya memakai sebagian dari kelengkapan standar tersebut. Misalnya hanya memakai baju APD tanpa sepatu dan kaos tangan yang standar. Atau bahkan banyak yang hanya memakai masker saja tanpa baju APD.
Bahkan yang lebih ironis, ada juga yang memang terlihat memakai baju APD. Namun jika melihat kualitas baju hazmat tersebut, hanyalah kualitas abal-abal. Bayangkan saja harga resmi baju hazmat yang standar bisa sekitar Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu untuk satu setnya. Sementara harga baju yang dipakai relawan seringkali hanya berkisar Rp 17 ribu hingga Rp 25 ribu saja.
“Harga baju yang sangat murah itu, malah mirip baju plastik atau jas hujan seperti mantol portabel yang banyak dijual di pinggir jalan di kala musim hujan datang,” ungkap Kusumo yang mengaku, juga pernah ditawari baju APD dengan harga dan kualitas murahan tersebut.
Ada satu hal lagi, dimana standar baju APD secara umum hanyalah dipakai sekali. Atau harus dibuang jika sudah dipakai bertugas. Namun banyak relawan yang terpaksa mencuci ulang baju-baju APD karena keterbatasan sumber dana.
Dengan kenyataan itu, tentulah nasib dan perjuangan para relawan seperti benar-benar tidak mendapat jaminan keamanan sama sekali. Dengan adanya para relawan itu, seharusnya pemerintah sangat berterima-kasih dengan kehadiran mereka. Tanpa adanya mereka belum tentu beban pandemi bisa terkurangi dengan lancar.
Terbukti para relawanlah yang selama ini melakukan banyak tugas, yang seharusnya menjadi tugas para nakes (tenaga kesehatan), atau menjadi tugas dari aparat atau pihak resmi lainnya.
“Sehingga sudah sepatutnya, dan mau tidak mau negara harus hadir demi menyelamatkan aset bangsa yang tak ternilai harganya tersebut,” imbuh Kusumo lagi.
Karena jika hal tersebut terus-menerus dibiarkan begitu saja. Atau dengan kata lain jika keberadaan para relawan diloos-dolkan begitu saja, tanpa adanya bimbingan dan pemberian fasilitas yang memadai, bukan tidak mungkin minat dan kesadaran masyarakat yang menjadi relawan semakin menipis di kemudian hari.
Sejatinya relawan itu memang tak ternilai harganya. Karena mereka memang tidak bisa dibayar dengan nilai berapapun. Mereka bergerak dan berangkat atas keinginan dan kesadaran sendiri. Aksi mereka, murni berdasar rasa kemanusiaan yang tinggi. Terutama dalam dalam merespon fenomena atau bencana yang terjadi di sekitar lingkungannya.
“Bahkan seringkali mereka kerap mengorbankan harta benda pribadi demi kelancaran bakti sosialnya. Malah yang sering terjadi, mereka juga terlibat cekcok dengan suami-istri atau anggota rumah tangga mereka di kala bertugas. Maklum seringkali tugas tak berbayar tersebut, sering menimbulkan ketidaksepahaman dalam rumah tangga mereka masing-masing,” cerita Kusumo menceritakan pengalaman beberapa relawan yang pernah ia temui di lapangan.
HALAMAN….SELANJUTNYA…….
Leave a Reply Batalkan balasan