MAJALAHKISAHNYATA.COM, Boyolali- Sebuah lokasi berpagar, di lereng Gunung Merapi sangat dikeramatkan oleh penduduk desa. Namanya Batu Tapak Nata. Meskipun letaknya terpencil, tempat ini sangat dikenal untuk wisata spiritual. Paling banyak malah didatangi oleh warga keturunan Cina. Konon, di lokasi petilasan dari Raja Mataram Paku Buwono X ini, ditunggui sepasang kera siluman. Kera itulah yang dianggap membawa keberuntungan bagi pengunjung.
Lokasi Batu Tapak Nata terletak di desa Sumbung, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah. Jumlah Batu Tapak Nata terdiri dari dua bagian. Yang pertama di sebelah barat disebut dengan Tapak Nata Putri (wanita). Sedangkan yang kedua di sebelah timur disebut Tapak Nata Kakung (pria). Keduanya berbentuk hampir sama, yaitu bongkahan batu sebesar kira-kira 1 X 1 meter setinggi 30-an cm.
“Disebut Tapak Nata karena masing-masing batu itu ada jejak telapak kaki manusia,” ujar Yoto Warno (58), warga yang dipercaya sebagai penjaga Batu Tapak Nata tersebut.
Bapak berputra dua ini mengisahkan, kedua batu tersebut memang dipercaya merupakan petilasan keramat. Dipercaya adalah jejak dari kaki pasangan Raja Paku Buwono X Surakarta dan permaisurinya. Alkisah di jaman dulu, Raja PB X sering mengadakan tedakan. Yaitu aktivitas jalan-jalan memantau kebun kopi yang terhampar di lereng Merapi.
Agar lebih nyaman, maka sang raja membangun sebuah pesanggrahan di sekitar kebun kopi. Pesanggrahan itu berada di desa Pracimaharjo. Suatu hari beliau dan permaisuri kehujanan saat melihat lokasi kebun kopi. Akhirnya mereka berteduh di sebuah tebing gua. Tanpa disangka masing-masing menginjak sebuah bongkahan batu yang sama.
“Dan ajaibnya, saat masing-masing satu telapak kaki menapak (menginjak) batu itu menimbulkan jejak atau cetakan telapak kaki pada permukaan batu,” kisahnya.
Yang mengherankan, bongkahan batu itu sebenarnya cukup keras. Namun saat terinjak kedua kaki pasangan raja seakan-akan menjadi lunak. Setelah hujan reda, keduanya segera kembali ke pesanggrahan untuk beristirahat. Tanpa disangka-sangka, di lokasi batu bekas terinjak tadi terjadi kehebohan. Ratusan kera tiba-tiba saja turun dari lereng Merapi. Mereka segera mengerumuni batu bekas pijakan kaki raja tadi.
Konon, dari cerita saksi mata yang dikisahkan secara turun temurun, ratusan kera itu dipimpin oleh sepasang kera. Pemimpin itu terdiri dari kera jantan dan betina yang berbulu putih bersih. Sementara ratusan kera yang dipimpin hanya berbulu coklat kehitaman biasa. Ajaibnya, dengan komando sang pemimpin, akhirnya ratusan kera mengangkat batu tersebut.
“Mereka memindahan batu yang ada jejak kaki tadi ke arah pinggiran desa setempat,” tuturnya.
Sehingga batu itu akhirnya berpindah tempat. Dari semula di dekat tebing perkebunan kopi menjadi di pinggir jalan desa setempat. Setelah kejadian itu, hampir setiap musim penghujan akan datang, ratusan kera pasti mendatangi batu itu. Kera-kera itu hanya terlihat berkumpul sebentar untuk kemudian balik lagi ke arah Gunung Merapi. Sehingga lama-kelamaan warga desa menjadi hafal kebiasaan tersebut.
Mereka akhirnya niteni, bahwa kedatangan kera adalah pertanda musim hujan akan tiba. Malah seringnya saat kera datang selalu disertai hujan sebagai awal dari musim penghujan.
Sampai wafatnya raja dan permaisuri PB X, letak batu tersebut tidak berubah. Bahkan saat tujuh hari dari wafatnya sang raja, kera yang berkumpul mencapai ribuan. Melihat kera berjumlah ribuan turun gunung, warga desapun menjadi takut. Namun saat melihat kumpulan kera hanya menuju batu dan untuk kemudian pergi lagi, merekapun menjadi lega.
Karena dianggap suci atau sakral, maka letak batu tersebut diberi tanda atau pagar khusus. Warga menyebutnya sebagai Batu Tapak Nata atau batu jejak kaki manusia. Selain rutin didatangi oleh ratusan kera, akhirnya banyak juga warga desa dan luar desa yang ikut-ikutan mendatangi. Mereka sering menggelar upacara untuk meminta hujan. Saat kemarau dirasakan sangat panjang, dan air menjadi sulit maka batu itulah yang menjadi tumpuan harapan.
Seringkali saat kemarau panjang, mereka menunggu-nunggu kedatangan rombongan kera. Mereka berharap dengan turunnya rombongan kera, maka berarti musim hujan akan segera tiba. Sehingga upacara atau ritual yang digelar pada intinya mengharap kera untuk datang. Dengan kedatangan kera, berarti hujanpun akan datang. Tak heran sesaji yang digunakan ritual sengaja dipilih dari makanan-makanan yang disukai oleh kera.
“Selain buah pisang dan kacang-kacangan, biasanya warga juga membawa penganan wajik (ketan warna coklat) untuk sesaji,” katanya.
Sesajian itu sangat disukai oleh kawanan kera. Apabila ritual yang digelar murni untuk meminta hujan, biasanya diadakan bekerja sama dengan tokoh masyarakat desa setempat. Namun ada kalanya ritual hanya digelar oleh individu atau pribadi khusus. Pernah pula suatu kali dalam sebuah ritual yang dilakukan oleh warga luar desa, kera yang datang hanya diwakili oleh dua ekor kera.
Leave a Reply Batalkan balasan