Lalu jika hal tersebut sudah menjadi kebijakan pusat, apakah pemerintah daerah tak bisa lagi berbuat banyak. Khususnya untuk melindungi nasib para petani lokal di wilayahnya masing-masing. Misalnya membuat aturan, atau sebuah sistem distibusi pasar yang memihak ke petani lokal.
“Sehingga aturan tersebut bisa mengakomodir, atau menyerap hasil produksi garam lokal agar juga bisa terserap ke sektor kebutuhan industri. Katakanlah mungkin bisa terserap meskipun hanya 50% saja. Atau sokur-sokur malah bisa 100%, agar petani bisa tersenyum senang dan lebih bersemangat lagi,” tegas Kusumo yang sebentar lagi akan menyelesaikan studi S3-nya di bidang ilmu Hukum ini.
Kembali kepada kebijakan pusat tadi. Kalau toh sektor industri, lebih memilih garam impor sebagai jenis yang kualifed (memenuhi syarat). Lantas kenapa tidak memilih garam petani lokal saja yang lebih ditingkatkan kualitasnya. Sehingga mampu bersaing dengan garam impor. Nah inilah mungkin masalah yang bisa diurai dengan gamblang dan transparan.
SDM (Sumber Daya Manusia) di Indonesia tentu tak bisa dianggap remeh. Kualitas kampus-kampus ternama baik negeri maupun swasta, tentu juga mempunyai ahli-ahli atau pakar canggih di bidang teknologi pertanian, termasuk mengolah garam lokal. Apalagi Garam di negeri sendiripun melimpah ruah, berkuialitas tinggi, dan tak akan habis sampai dunia kiamat sekalipun.
Lalu kenapa bisa terjadi, garam lokal selalu kalah sama garam impor?
“Itulah tugas negara dan pemerintah yang seharusnya harus kita kritisi bersama. Khususnya tugas dan tanggung-jawab para menteri terkait, dan para pemangku kebijakan masalah produksi atau komoditas garam di Indonesia,” jelasnya.
Kesimpulan yang bisa ditarik, kesenjangan antara garam impor dan lokal terjadi karena kualitas barang yang berbeda (versi kebijakan negara). Sehingga permintaan industri lebih memilih garam impor. Dengan kenyataan tersebut, solusi yang harus segera dilakukan adalah, segera bergerak cepat mengolah garam lokal dengan teknologi modern.
Dalam bahasa kualitas garam, ada satu jenis kandungan yang dikenal dengan istilah Natrium Fluorida. Nah kandungan itulah yang selama ini selalu dijadikan acuan untuk menilai kualitas garam. Semakin tinggi kandungan itu, semakin baik pula kualitas garam. Dan selama ini kandungan Natrium Fluorida dalam garam lokal selalu kalah atau dianggap lebih rendah dengan garam impor.
“Lalu jika masalahnya cuma persaingan kualitas, seharusnya pemerintah sejak dulu bisa mengatasi hal tersebut dengan mudah. Dan tak ada alasan lagi untuk selalu impor garam,” ujarnya lagi.
Namun jika masalahnya, ada pada tata kelola distribusi garam impor. Atau sangat patut diduga mungkin saja kebijakan impor tersebut, sudah dikuasai oleh oknum birokrat, pejabat, dan para mafia atau kartel yang bermain, tentu lain lagi masalahnya. Jika kemungkinan terakhir itu yang sebenarnya terjadi, sudah seharusnya lembaga KPK, aparat penegak hukum, dan lembaga terkait lainnya, harus bersinergi dengan pemerintah untuk memberantasnya sesegera mungkin.
Karena, jika tidak segera ditangani, jeritan nasib petani garam lokal, akan semakin memilukan. Pelan namun pasti, petani garam lokal akan segera menggali kuburnya sendiri. Dan akan menutupnya kembali dengan timbunan garam yang melimpah, karena tidak laku di gudangnya sendiri.
Kusumo Putro sendiri selama ini dikenal sangat aktif dalam menyoroti, dan mengkritisi semua kebijakan pemerintah yang dianggapnya tidak pro rakyat. Beberapa waktu lalu ia sempat bersuara lantang terkait nasib petani gabah dan kedelai.
Dimana nasib petani tersebut semakin tersungkur terkait harga bahan produksi yang semakin naik dan langka. misalnya harga benih, obat, dan pupuk. Kini ia pun berharap agar nasib para petani garam lokal juga bisa lebih terangkat derajadnya di mata dunia.
Kusumo Putro sangat percaya, jika pemerintah lebih peduli dalam mengelola potensi garam lokal, tentu kebutuhan garam di dalam negeri sendiri bisa dicukupi tanpa harus tergantung dari negara lain. Imbasnya tentu pendapatan negara juga bisa naik karena sudah tak perlu impor lagi. Bahkan sokur-sokur malah bisa mengekspor. Dan yang lebih penting nasib petani juga akan semakin terangkat lebih baik. (Dia)
Sumber: http://majalahkisahnyata.com/
Leave a Reply Batalkan balasan