
MAJALAHKISAHNYATA.COM, Solo– Beberapa kabinet menteri sudah silih berganti, sejak era reformasi digulirkan. Namun untuk sektor pangan (pertanian), belum ada perubahan yang signifikan. Misalnya Indonesia sampai saat ini, belum bisa membanggakan diri sebagai negara yang swasembada pangan (beras). Faktanya justru senang dengan menjadi negara pengimport beras.
Bahkan nasib petani, terutama buruh tani juga semakin tersungkur akibat kebijakan-kebijakan yang tidak memihak petani. Apakah bangsa kita sudah lupa? Bahwa bangsa Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Dimana sektor pertanian tentu menjadi hal yang sangat utama bagi semua sendi kehidupan. Atau jangan-jangan, mungkinkah semua itu akibat ulah mafia pangan?
Beberapa minggu belakangan ini, santer terdengar kabar, petani menjerit akibat harga pupuk mahal. Bahkan selain mahal, pupuk yang konon disubsidi oleh pemerintah itu, juga kerap menghilang dari pasaran. Celakanya lagi, petani masih harus berjuang mencari obat-obatan pemelihara padi yang juga bernasib sama. Kalau tidak, tiba-tiba menghilang juga harganya menjadi sangat mahal.
“Padahal petani dari awal sudah diuji dengan mahalnya bibit tanaman (padi). Lalu jika setelah tanam, harga pupuk dan obat-obatan juga ikut-ikutan mahal, bahkan sering menghilang, bagaimana nasib petani. Sementara harga jual gabah juga tidak ikutan naik,” kata BRM Kusumo Putro SH, MH, dengan lantang.
Pria yang juga pendiri dari LSM Lapaan RI (Lembaga Penyelamat Asset dan Anggaran Belanja Negara Republik Indonesia) ini, mengatakan, nasib petani sekarang ini seperti hidup enggan, matipun tak mau. Ini karena posisi mereka memang benar-benar terjepit. Namun sama sekali tak punya posisi tawar sama-sekali kepada kebijakan pemErintah. Padahal selama ini pemerintah dengan model kepemimpinan siapa saja, selalu menggembar-gemborkan tentang kesejahteraan petani.
“Setiap masa panen, selalu yang diuntungkan hanyalah para tengkulak, dan para spekulan yang dengan bebas bisa memainkan harga gabah seenaknya,” ujar Kusumo saat ditemui beberapa awak media pada Minggu kemarin (03/01/2021).
Sudah puluhan tahun sejak era reformasi, negara juga belum bisa mewujudkan ketahanan pangan dengan pola swasembada beras. Bahkan sekian persen dari anggaran negara selalu dibelanjakan untuk kebutuhan impor bahan pangan. Tak hanya beras yang diimpor, bahkan bahan pangan yang meliputi 9 bahan pokok, sebagian besar juga masih diimpor oleh negara.
Berikut ini sekilas nasib petani yang benar-benar merupakan kisah nyata. Yaitu cerita keluh kesah petani dari wilayah Karanganyar, Jateng. Beberapa keluarga petani penggarap lahan orang (petani buruh), hanya melakukan kegiatan pertanian seperti sebuah tradisi keterpaksaan saja. Pasalnya dari segi ekonomi, mereka mengaku sebenarnya mereka sama sekali tidak untung sama sekali. Bahkan bisa dibilang rugi.
“Bayangkan saja. Sejak kami menanam, harga bibitnya sudah mahal. Lalu tiba-tiba harga pupuk juga melonjak tajam. Begitu pula obat-obatan juga mendadak ikut mahal. Nanti jika saatnya panen, hitung-hitungan kami tentu pasti rugi. Apalagi jika pemilik lahan menuntut keuntungan (pembagian hasil) sesuai kesepakatan awal,” ujar Pak Parjo (50), seorang petani penggarap asal wilayah Karanpandan, Karanganyar, Jateng saat ditemui beberapa hari yang lalu.
Namun Pak Parjo mengaku cukup beruntung. Karena si pemilik lahan, seperti pengalaman yang sudah-sudah, tidak pernah menuntut keuntungan sedikitpun dari hasil panennya. Si pemilik lahan tahu, bahwa nasib petani buruh tersebut memang pasti merugi, jika harus dituntut sesuai pembagian hasil yang sebenarnya.
Jadi selama ini, bahkan setiap tahun selalu terulang. Dimana selalu saja masalah klasik, terkait pertanian seperti mimpi buruk bagi petani. Yaitu harga bibit mahal, pupuk dan obat mahal. Dan begitu dijual, harganya juga tidak begitu membuat isi dompet bertambah tebal. Hal itu seringkali membuat para petani susah untuk tidur. Belum lagi ancaman cuaca buruk yang seringkali mengancam (gagal panen).
Leave a Reply Batalkan balasan