MAJALAHKISAHNYATA.COM, Yogyakarta: Sebuah ritual dengan sesaji istimewa dipersembahkan di Pantai Selatan. Tepatnya di Pantai Parang Kusumo, Yogyakarta. Dalam tradisi ini, rambut dan kuku milik raja Kraton Surakarta, juga ikut dilarung dalam ganasnya ombak laut selatan. Konon, masyarakat umum yang mengikuti, bisa mendapatkan perhiasan emas dalam acara sakral ini. Benarkah?
Setiap memasuki bulan Suro ada satu adat atau tradisi yang tak pernah lepas dari lingkungan istana keraton Kasunanan Surakarta. Yaitu upacara larung sesaji di pantai Parang Kusumo, Yogyakarta. Acara biasa diselenggarakan setiap tanggal 15 atau juga pada malam 15 Suro. Atau sering juga menyesuaikan cuaca dan kondisi alam.
Sebelumnya upacara didahului dengan melarung beberapa sesaji di puncak Gunung Lawu Jawa Tengah. Baru setelah selesai di gunung Lawu, keesokan harinya dilanjutkan dengan larung sesaji di pantai Parangkusumo, yang dekat dengan pantai Parang Tritis Yogyakarta.
“Acara ini awalnya sebenarnya murni dari intern keluarga keraton saja. Yaitu untuk keselamatan dan kesejahteraan keluarga keraton, sehingga seringkali luput dari agenda wisata resmi,” ujar Sinuwun Hangabehi, raja dari keraton Surakarta pada majalahkisahnyata.com, saat ditemui di pantai Parang Kusumo beberapa waktu lalu.
Raja yang bergelar Sri Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Paku Bowono XIII itu, mengatakan semua sesajian yang akan dilarung adalah murni benda-benda pribadi milik keluarga kerato. Terutama yang dianggap sudah usang, atau bekas milik raja keraton. Misalnya seperti busana, peralatan rumah tangga. Bahkan juga bagian-bagian tertentu dari badan sang raja yang dianggap bekas, atau memang layak dibuang atau dilarung.
“Bahkan kuku dan sebagian rambut saya pribadi, juga telah dipotong untuk diikutkan dalam ritual larung sesaji di laut ini,” tutur sang raja lagi.
Upacara atau ritual larung sesaji itu dimaksudkan sebagai simbol membuang segala bencana dan kesialan. Dengan kata lain benda-benda bekas dan lama itu, disimbolkan sebagai barang-barang yang dianggap menjadi sarang bencana jika tidak segera dibuang atau dilarung.
Namun seringkali, benda-benda yang dilarung juga merupakan barang atau benda yang masih baru, atau gres dengan beberapa alasan khusus. Seperti misalnya waktu yang mepet, atau kesulitan memilah benda-benda lama. Juga kepentingan agar warga bisa menikmati kebahagiaan bersama, dengan bisa memiliki benda-benda yang dilarung itu sehinga masih bisa dipakai lagi jika ditemukan warga.
Leave a Reply Batalkan balasan