
MAJALAHKISAHNYATA.COM, Pati– Puluhan nasi tumpeng beserta ayam panggang dibagikan bersama dalam acara Kenduren Desa. Tak lupa beberapa doa serta rapalan mantra Jawa, dilantunkan dalam ritual ini. Konon, acara ini dilakukan untuk menolak balak semua sengkala. Termasuk sengkala yang berupa PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) NO. 1 Tahun 2020. Sengkala itu nyata-nyata dianggap sudah mengorbankan program strategis pembangunan desa yang berwujud DD (Dana Desa). Apa saja tuntutan yang disuarakan dalam acara tersebut?
Akibat krisis pagebluk corona (covid-19) yang berkepanjangan, pemerintah semakin kalap. Akhirnya membuat PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) NO. 1 Tahun 2020. Alhasil, ada beberapa program vital dikorbankan. Salah satunya adalah program DD (Dana Desa). Padahal baru beberapa tahun ini, Dana Desa bisa dinikmati oleh seluruh desa di Nusantara.
“PERPU No.1 Tahun 2020 yang akhirnya ditetapkan menjadi UU No.2 Tahun 2020, jelas sangat merugikan pemerintah desa di seluruh Indonesia. Mencermati beberapa pasal dalam UU baru tersebut, Dana Desa terancam bisa dikurangi, dialihkan, bahkan terhapus atau hilang sama sekali,” teriak Sudir Santosa (59), ketua umum Parade (Persatuan Rakyat Desa) Nusantara dalam sambutan acara Kenduren tersebut.
Acara kenduren oleh Parade Nusantara tersebut, sengaja diadakan untuk menyikapi lahirnya UU No. 2 Tahun 2020. Bertempat di Wisma Parade Nusantara, di lereng bukit terjal di desa Kedung Winong, Sukolilo, Pati, Jateng, Sabtu sore kemarin (06/06). Acara itu dihadiri oleh ratusan peserta dari banyak elemen. Sebagian besar dari Jateng, Jatim, dan Jabar. Antara lain oleh Parade Nusantara, PPDI (persatuan Perangkat Desa Indonesia), Apdesi (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia), komunitas Lawyer, aktivis media peduli desa, dan elemen-elemen lain yang peduli dengan pembangunan atau terkait perkembangan desa.
Menurut Sudir, kalau melihat sejarah ke belakang terkait UU Desa, seharusnya pemerintah (Presiden) lebih bijak dalam membuat Perpu atau UU. Diakui atau tidak pemerintah yang kini berkuasa, dulu juga sempat mengklaim/mengakui sebagai motor dan pelopor lahirnya UUDesa di DPR RI. Bahkan dalam pemilu pilpres 2014, sempat menabur beberapa janji manis.
“Diantaranya yaitu mengangkat Perangkat Desa seluruh Indonesia menjadi Pegawai Negeri Sipil berikut gaji yang menyesuaikan,” ujar Sudir lagi.
Meskipun sebagian janji manis tersebut sampai sekarang hanya berupa mimpi, setidaknya program DD (dana desa) sudah menjadi bukti yang sedikit melegakan. Namun jika tiba-tiba saja, program dana desa terancam dicabut, tentu menjadi hal yang sangat menyakitkan. Apalagi alasannya terkait wabah corona. Padahal selama awal wabah corona berlangsung, pemerintah desa di seluruh Indonesia sudah taat dengan skema dari pemerintah pusat.
Skema tersebut yaitu berupa permendesa (peraturan pemerintah desa). Yaitu pemakaian 25-35% dari anggaran DD tersebut untuk penanganan covid-19. Wujud nyatanya sebagian dialokasikan berupa BLT (bantuan langsung tunai) kepada warga desa terdampak covid-19. Bahkan jikalau wabah corona berlangsung hingga sampai kiamat sekalipun, pemdes seluruh Indonesia pasti akan taat seandainya DD tersebut dianggarkan 100% untuk penanganan corona.
Jadi jika sekarang pemerintah harus membuat UU baru, seharusnya benar-benar mementingkan azas keadilan bagi rakyat Indonesia. Terutama bagi pembangunan desa. Apalagi data menunjukkan sampai saat ini, rakyat desa lebih banyak dibanding kota (70%).
Kabar berlakunya UU terbaru di atas, tentu merupakan kabar darurat bagi seluruh desa di Nusantara. Bahkan bisa disebut sebagai kabar duka. Dan sangat layak jika diapresiasi oleh seluruh pemerintah desa dengan pengibaran bendera setengah tiang.
“Celakanya lagi, sampai sekarang masih banyak pemdes yang belum mengetahui tentang berlakunya UU No. 2 Tahun 2020 tersebut. Mereka tentu akan kecewa berat, jika angan-angan pembangunan di tahun berikutnya tiba-tiba gagal karena lahirnya balak UU baru itu,” paparnya.
Leave a Reply Batalkan balasan