
MAJALAHKISAHNYATA.COM, Sukoharjo– Tiba-tiba saja sosok Eyang Semar atau Eyang Ismoyo muncul di gunung Merapi. Bisa jadi, hal tersebut menjadi pertanda alam gaib di tengah wabah virus corona, atau Covid 19. Sebagian masyarakat mengaitkannya dengan janji leluhur di tanah Jawa. Seperti apa janji tersebut?
Dalam seminggu terakhir, beredar foto viral tentang gambar tokoh pewayangan Semar, atau Ismoyo dalam beragam medsos. Foto tersebut muncul dalam kepulan awan panas merapi yang mulai erupsi (meletus) sejak Jumat lalu (28/03). Keaslian foto tersebut memang masih kontroversial. Namun lepas dari asli atau hoak-nya foto tersebut, sebagian masyarakat percaya hal tersebut adalah sebuah tanda, atau kode alam yang benar-benar nyata.
Di banyak postingan medsos, terutama di group WA, dikatakan bahwa kemunculan tokoh Semar menjadi pertanda baik. Yaitu sebagai langkah awal akan berakhirnya Pageblug (wabah) virus corona. Berdasar kepercayaan orang Jawa sejak jaman Mataram Kuno, jika gunung Merapi menyemburkan awan panas disertai gambar tokoh Semar pasti mempunyai makna yang dalam.
“Jika Gunung Merapi menyeburkan awan panas menyerupai wajah (Eyang Semar) tokoh pewayangan Jawa, diyakini pageblug yang terjadi akan segera berakhir,” begitulah bunyi postingan di medsos, disertai foto tokoh Semar dalam bumbungan awan panas yang menyembur dari Merapi.
Jika dikaitkan dengan kondisi sekarang, memang terjadi pageblug atau wabah corona. Wabah yang benar-benar membuat siapa saja menjadi merinding ketakutan. Siapa saja bisa terancam maut sewaktu-waktu. Setiap hari, masyarakat dibombardir berita dan isu tentang ganasnya virus corona. Setiap ada orang meninggal karena positif terinveksi corona, selalu menjadikan kegemparan.
Wajar jika kemunculan tokoh Semar tersebut, menjadi harapan spiritual bagi orang-orang Jawa yang masih ngugemi (percaya) tradisi leluhur. Semua berharap, semoga wabah Covid-19 akan segera berlalu dari bumi Nusantara. Namun di balik fenomena tersebut, ada pendapat lain tentang gambar atau sosok eyang Semar yang viral tersebut.
“Banyak yang percaya bahwa hal itu menjadi tanda, akan segera berakhirnya wabah corona. Namun menurut terawangan gaib saya, bukanlah sekedar masalah corona yang berkaitan dengan kemunculan tanda gaib tersebut,” ujar Dimas Katja (55), seorang spiritualis asal kota Solo.
Bahkan menurutnya, jika foto itu memang benar-benar asli sebenarnya gambar itu bukanlah sosok Eyang Semar. Melainkan merupakan sosok Eyang Sapujagad. Eyang Sapujagad sendiri adalah sosok gaib penjaga kawah Candradimuka. Hal tersebut memang bisa menjadi pertanda alam gaib bagi kehidupan di tanah Jawa atau Nusantara pada umumnya.
Ditambahkannya, jika menyangkut masalah pertanda alam, kini sudah saatnya masyarakat mengingat kembali leluhur sendiri. Mau tidak mau harus eling (ingat) dengan leluhur. Toh urusan wabah virus corona sudah bukan urusan manusia lagi. Melainkan sudah menjadi urusan leluhur Agung. Dengan tumpahan lahar atau awan panas Gunung Merapi, Insya Allah memang akan menyirnakan virus Corona dari bumi Nuswantoro (Nusantara).
“Kondisi saat ini mengingatkan ramalan para leluhur Jawa dulu. dimana kumandange azan, ning ora ana sing nang mesjid (kumandang suara azan, tapi tidak ada yang pergi ke Masjid),” ulasnya.
Dulu ramalan seperti itu dianggap mengada-ada. Namun dengan kuasa Tuhan, tak ada hal yang tak mungkin. Kini bahkan hanya dengan virus super kecil yang tidak terlihat dengan mata telanjang, kondisi tersebut benar-benar terjadi. Bahkan anjuran atau larangan pergi ke Masjid termasuk ibadah ke tanah suci, dikeluarkan oleh lembaga-lembaga resmi agama. Semua aktivitas ritual berjamaah itu, dinyatakan berhenti untuk batas waktu yang belum ditentukan.
Meskipun hal tersebut bersifat sementara, setidaknya bisa membuat orang untuk merenung. Apa yang sebenarnya selama ini mereka lakukan saat mereka tidak mengingat lagi kepada leluhur. Bahkan sering memandang rendah tradisi leluhur orang Jawa. Dan kini tradisi-tradisi tersebut tanpa sadar mereka hidupkan kembali dengan kemasan modern.
“Misalnya dulu di pojok depan rumah orang Jawa, sering ditaruh gentong atau padasan untuk wijikan (membasuh kaki dan tangan). Gunanya agar sawan/kotoran dari jalanan dibersihkan dulu sebelum masuk rumah,” papar Dimas Katja lagi.
Sebelum wabah corona, banyak generasi sekarang mengatakan bahwa tradisi tersebut kuno dan juga dianggap musrik atau syirik. Namun sekarang masyarakat menghidupkan lagi tradisi tersebut dengan menaruh air kran atau air dispenser di depan rumah. Gunanya tentu saja untuk membersihkan diri, terutama tangan yang dianggap sebagai penyebar virus corona nomer satu.
Itulah sebabnya, menurut Dimas Katja kita sebagai orang Jawa harus selalu eling dimana kita dilahirkan dan dibesarkan. Apalagi kalau nanti kita berpulang juga dikubur di tanah Jawa. Perbanyaklah tawakal untuk meminta perlindungan kepada Allah dengan lantaran Leluhur agar kita tidak menjadi pupuknya tanah Jawa.
Versi lain dari legenda Sapdo Palon dan Noyo Genggong adalah tentang janji leluhur Jawa yang menagih janji. Dulu saat kejayaan kerajaan Majapahit runtuh, pengikut setia raja Brawijaya terakhir yaitu Sabdo Palon dan Noyo Genggong ikut Muksa bersama tuannya di Gunung Lawu. Mereka bersaksi dan berjanji akan menagih janji setelah 500 tahun kepergian mereka dan junjungannya muksa di gunung Lawu.
Janji tersebut adalah ingin mengembalikan kejayaan Nusantara kepada nilai-nilai asli di tanah Jawa. Mereka akan menagih janji lewat tanda-tanda alam dan semua fenomena alam yang terjadi dengan sendirinya. Tahun ini 2020 disinyalir merupakan tahun ke-500 dari janji Sabdo Palon dan Noyo Genggong tersebut. Sekarang ini entah kebetulan atau tidak, mendadak bermunculan atau ditemukan candi-candi kuno dari era Mataram Kuno. Bisa jadi wabah virus corona, merupakan salah satu dari tanda alam proses penagihan janji leluhur tersebut. Boleh percaya boleh tidak. Med
sumber: http://majalahkisahnyata.com/
Leave a Reply Batalkan balasan