
MAJALAHKISAHNYATA.COM -SOLO– Pernahkan anda mendengar cerita tentang wanita Bahu Laweyan, atau kejadian misteri dalam masyarakat yang berkaitan dengan wanita bahu laweyan tersebut? Yaitu seorang wanita yang dipercaya membawa kesialan bagi siapa saja, terutama dengan calon suami atau suaminya sendiri, atau bisa juga dengan lelaki yang berhubungan intim dengannya. Kesialan itu berwujud nasib yang sangat tragis, yaitu kematian mendadak bagi lelaki yang menjadi suami atau yang telah menggaulinya.
Bagi masyarakat Jawa, dimana cerita tersebut mulai berkembang, wanita yang menyandang gelar sebagai Bahu Laweyan dicirikan mempunyai beberapa tanda istimewa di tubuhnya. Yaitu seorang wanita Jawa yang mempunyai tahi lalat, atau toh. Istilah lain menyebut dengan nama tembong, atau tompel hitam pada bahu kirinya. Versi lain juga menyebut tanda istimewa pembawa sial itu terletak di bagian bawah pusar wanita.
“Bagi siapapun yang menikahi wanita Bahu Laweyan, bisa dipastikan hidupnya tak akan lama,” begitulah inti tema atau pesan dari cerita wanita Bahu Laweyan.
Meskipun cerita itu sekilas hanya berwujud seperti dongeng, legenda, cerita rakyat, atau folklore, namun diyakini memang benar-benar ada dalam masyarakat Jawa baik di masa dulu saat cerita itu muncul hingga berkembang dengan segala versinya sampai sekarang ini. Lalu bagaimana sebenarnya asal-usul cerita seram yang sangat merugikan kaum perempuan itu? Lantas bagaimana pula masyarakat menyingkapinya.
“Ditilik dari namanya yaitu Bahu Laweyan, cerita itu memang berkaitan erat dengan nama sebuah kampung atau wilayah di kota Solo,” tutur mendiang almarhum Drs. Sudarmono, SU, seorang sejarawan kawak asal kota Solo.
Kampung yang dimaksud adalah kampung Laweyan, terletak sekitar 5 km ke arah barat dari pusat kota Solo. Wilayah yang masuk dalam kecamatan Laweyan ini punya sejarah sosial yang sangat panjang. Bahkan keberadaan nama atau wilayah Laweyan sendiri sudah eksis jauh sebelum kerajaan Mataram Islam lahir. Diperkirakan sejak kekuasaan kerajaan Pajang atau sekitar tahun 1568 M, wilayah Laweyan sudah berdiri.
Saat itulah, seorang tokoh Islam yang bernama Ki Ageng Henis mulai mengenalkan budaya kain Batik pada masyarakat di sana. Tokoh yang berdakwah Islam itu juga mengajarkan bagaimana cara memproduksi kain atau busana batik. Dalam waktu singkat munculah jaringan bisnis, atau budaya pasar yang melibatkan semua elemen.
Dari wilayah Pedan, Klaten, Jawa Tengah sebagai penghasil bahan utama kain batik. Yaitu adanya penghasil Lawe, atau benang kapas dimana wilayah tersebut merupakan penghasil kapuk randu dari tamanan randu hingga menjadi Lawe. Istilah bahan baku inilah yang akhirnya juga menjadi nama kampung Laweyan, atau yang berarti tempat dimana banyak Lawe atau benang kapasnya. Uniknya, semua pelaku pasar yang paling dominan dalam industri batik tersebut adalah kaum perempuan.
“Jadi dalam struktur jaringan pasar batik, wanitalah yang paling menentukan serta dominan,” lanjut sejarawan yang dulu menjadi dosen senior di fakultas sastra UNS ini (sekarang FIB/Fakultas Ilmu Budaya).
Menurutnya, peranan wanita tersebut juga sangat dominan dalam keluarga, hingga ada istilah mbok mase dalam menyebut kaum saudagar perempuan ini. Artinya seorang wanita yang berkuasa atau mempunyai peran dominan dalam mengendalikan ekonomi serta hegemoni keluarga. Nah karena etos kerja wanita saudagar batik ini sangat luar biasa, maka mereka dengan cepat bisa meraih kekayaan. Semangat inilah yang memunculkan perbedaan dengan budaya kaum aristokrat atau bangsawan di dalam tembok keraton.
“Nah tradisi atau paradigma budaya dari falsafah kekayaan mereka itulah yang akhirnya membangkitkan kecemburuan sosial dan politik baik bagi masyarakat umum atau kaum kerabat lingkungan kraton,” terang pria yang telah dikaruniai tiga anak ini.
Perbedaan kultur ekonomi inilah yang akhirnya membangkitkan semacam sentimen dari kalangan keraton serta masyarakat luas. Sehingga terciptalah cerita rakyat yang bertujuan untuk mengisolir para saudagar ini, baik secara politik, ekonomi, atau budaya. Selain itu, beberapa tokoh penting yang tersangkut hukuman mati, biasanya akan diceritakan bahwa eksekusinya adalah di-Lawe (digantung dengan tali lawe). Bahkan lokasi eksekusinya juga bertempat di wilayah Laweyan.
Sehingga muncul opini umum, bahwa Laweyan memang tempat untuk mengeksekusi atau menghukum orang. Konon selain eksekusi hukum Lawe, di masa dulu, wilayah Laweyan terutama di tepian sungainya juga digunakan untuk eksekusi hukum Picis, yaitu tubuh yang disayat lalu ditetesi air jeruk. Hingga akhirnya perseteruan budaya dan ekonomi semakin meruncing terutama antara saudagar dan pihak bangsawan kerajaan.
“Puncaknya sesaat setelah terjadi geger pecinan di Kartosuro, muncullah cerita Bau Laweyan tersebut,” sambung suami dari Tri Darmani ini.
Great content! Super high-quality! Keep it up! 🙂